Saya awardee LPDP

Tulisan kali ini sebenarnya ‘hutang’ tulisan sejak setahun lalu. Wkwkwkkkk.

Yup, Puji Tuhan, saya termasuk salah satu dari ribuan warga negara Indonesia yang berkesempatan melanjutkan studi di luar negeri, dengan beasiswa dari pemerintah Indonesia. Beasiswa yang saya dapat adalah dari LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), yang dikelola oleh Kementerian Keuangan RI.

Bangga? Tentu saja.

Selain karena rasio penerima dan pelamar beasiswa ini kecil, seleksi yang ketat dan komprehensif, saya termasuk satu dari sekian banyak orang yang merasa bahwa saya ‘biasa aja’. Dan ini semakin diperkuat dengan banyaknya rekan, keluarga dan orang-orang sekitar yang nanya, “kok bisa sih dapet LPDP?”, setelah tau bahwa saya berhasil. Hahaha.

Saya yakin, ini benar-benar anugerah dan kepercayaan Tuhan, kebahagiaan yang dititipkan pada saya untuk dikelola dan digunakan sebaik-baiknya. Seiring berjalannya waktu, saya menyadari, bahwa kesempatan besar untuk kuliah S3 di luar negeri ini bukan cuma saya yang ‘belajar’, tapi juga suami, anak-anak, orangtua, keluarga besar, rekan, mahasiswa2 dan banyak pihak lainnya yang turut mendukung dan ikut ‘belajar’ bersama saya.

Suami dan anak2 turut belajar hidup di luar negeri, jauh dari kondisi ‘nyaman’ yang selama bertahun-tahun lalu sudah kami nikmati. Kami belajar untuk semakin solid sebagai keluarga kecil, hidup jauh dari orangtua, kerabat dan sahabat yang biasanya selalu di sekitar kami. Orang tua dan kerabat kami juga ‘belajar’ bahwa jarak dan perbedaan waktu bukan penghalang untuk menyatakan dukungan dan kasih bagi kami. Rekan2 dan mahasiswa2 saya juga belajar bahwa saya yang ‘biasa’ aja bisa kuliah di luar negeri dengan beasiswa penuh dari pemerintah. Ini menjadi motivasi bagi mereka untuk berjuang meraih impian masing2.

Nah, apakah saya hanya ‘beruntung’ di posisi ini, atau ini buah perjuangan saya?

Saya yakin betul, kesempatan ini adalah paduan dari anugerah Tuhan, keberuntungan, dan buah dari perjuangan panjang serta untaian doa yang menyertai. Setidaknya, hal-hal berikut inilah yang saya perjuangkan selama ini:

  1. Dukungan keluarga (terutama orangtua, suami, anak2), yang nggak mudah bagi saya. Yup, saya ibu dua anak, yang sebelumnya tinggal jauh dari orangtua dan adik2. Menurut pandangan umum mungkin nggak wajar seorang ibu dan istri dengan sederet tanggung jawabnya *sering disebut kodrat* punya mimpi berpendidikan tinggi dan menuntut ilmu di luar negeri. Tapi, itu bukan mustahil. Suami saya sangat mendukung, bahkan ini adalah impian yang kami bangun bersama sejak masa pacaran dulu. Orangtua saya berpandangan terbuka, mengerti bahwa dunia kami adalah seluas dunia ini, berarti bahwa kami bisa bercita-cita jadi apa saja, berada di mana saja, melakukan apa saja, yang kami yakini baik dan benar.
  2. Keseimbangan antara kerja rutin, family time, dan perjuangan meraih mimpi. Ini juga nggak gampang. Sebagai dosen dengan tambahan jabatan struktural, keseharian saya sudah ‘penuh’ dengan berbagai urusan kantor. Bahkan tak jarang harus menyelesaikan pekerjaan kantor di rumah, hingga lewat tengah malam. Ditambah perjuangan meraih mimpi (browsing info beasiswa, mencari research group dan university tujuan, diskusi di grup dan forum2, dll), saya memang harus bekerja lebih dari yang semestinya. Salah satu quote bagus dari teman saya, “Jika ingin meraih hasil lebih dari orang lain, ya harus mau berjuan lebih dari perjuangan orang lain”. Selain kerja dan perjuangan ini, saya juga tetap harus punya waktu buat suami dan anak2 yang masih kecil, tetap perlu jalan2 dan belanja tiap weekend. 😀
  3. Mengukur diri. Nah ini tambahan spesifik dari saya. Menurut saya, setiap orang punya takaran masing-masing dalam segala hal. Seperti membeli barang, tas misalnya, saya mungkin cukup dengan membeli tas seharga 100 ribu rupiah tapi harus baru, orang lain mungkin baru puas kalau bisa beli tas juta-jutaan rupiah walau second. 😀 Dalam hal studi lanjut ini juga begitu. Bagi saya, studi lanjut hanya bisa saya lakukan jika saya dapat beasiswa, harus di perguruan tinggi yang baik dan punya research group yang cocok dengan saya, harus punya lingkungan kota yang baik dan nyaman untuk keluarga. Nggak harus top 3 atau top 10 ranked in the world, nggak harus di kota metropolitan yang serba gemerlap, dst. Tentukan ukuran diri yang sesuai dengan kondisi kita masing-masing.
  4. Pasrah dan menyerahkan diri pada Tuhan. Nah, last but not least, setelah mengiringi setiap usaha dengan doa, kita juga harus pasrah. Percaya dengan sepenuh hati bahwa semua yang terjadi pada saya, pada Anda dan pada dunia ini, adalah kehendak Tuhan, sebuah ketentuan yang terbaik bagi kita. Berdoa, menurut saya, berarti siap dan menyerahkan diri seutuhnya pada Tuhan. Jadi kalau ikut tes beasiswa lalu nggak lulus, percayalah, itu kehendak Tuhan. Coba lagi dan terus, sampai kita temukan kehendak Tuhan yang menentukan di mana kita harus studi lanjut. 🙂

Nah, bagi saya, jawaban Tuhan itu adalah studi S3 di University of Leeds dengan beasiswa LPDP. Apakah ini yang terbaik? Bagi saya, iya.

(gambar dari http://blog.galedu.com/wp-content/uploads/2016/04/Beasiswa-Afirmasi-LPDP.jpg)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *